Vaksinasi Covid-19 Anak: Disambut Demi Sekolah Tatap Muka, Ditolak karena

 

Vaksinasi Covid-19 Anak: Disambut Demi Sekolah Tatap Muka, Ditolak karena

Kementerian Kesehatan menyasar kelompok anak usia 12-17 tahun dalam program vaksinasi Covid-19. Salah satu pertimbangannya karena terdapat lebih dari 108 ribu kasus terkonfirmasi pada rentang usia tersebut dari total 2 juta kasus positif Covid-19 di Indonesia.

Dengan rekomendasi dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional dan persetujuan dari BPOM atas penggunaan vaksin Sinovac buatan PT Bio Farma untuk kelompok usia lebih dari 12 tahun, pemerintah mulai memvaksinasi kelompok anak dan remaja sejak 1 Juli lalu. 

Kebijakan ini disambut baik sejumlah kalangan, terutama para guru. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, pemberian vaksin pada anak dapat membantu persiapan pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.

Meski demikian, Satriwan menemukan masih terdapat orang tua yang menolak anaknya divaksin sebelum pembukaan sekolah. P2G melakukan survei melalui Google Form sejak 5-8 Juli 2021 terhadap 9.000 orang tua yang memiliki anak 12-17 tahun di 34 provinsi. 

Sampai Kamis sore, 8 Juli 2021, data yang masuk ada 8.742 jawaban. Dari angka itu, sebanyak 13,1 persen orang tua tidak setuju anak diberikan vaksin Covid-19. “Alasannya macam-macam, di antaranya khawatir dampak pengikut, yaitu kesehatannya, orang tua khawatir tidak halal,” kata Satriwan kepada Tempo, Kamis, 8 Juli 2021. 

Melihat alasan dari para responden, Satriwan menilai perlu ada sosialisasi yang masif dari pihak sekolah kepada orang tua murid. Apalagi, kata Satriwan, ada responden yang termakan hoaks soal adanya chip pada vaksin, sehingga menolak anaknya diimunisasi.

“Kalau anak tidak diizinkan vaksin karena selain alasan kesehatan, harus ada asesmen dulu oleh tenaga kesehatan bahwa anak tidak layak atau boleh divaksin,” ujarnya.

Anggota DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak, mendorong adanya sanksi bagi yang menolak vaksinasi anak. Pasalnya, kelompok anak dan remaja mempunyai mobilitas tinggi, sulit diawasi, dan bila terinfeksi Covid-19 umumnya tanpa gejala. 

“Mereka berpotensi menjadi sumber penularan yang mobile karena tidak ada gejala atau keluhan tetapi bergerak ke sana-ke mari,” kata Gilbert dalam keterangannya.

Menurut dia, kelompok usia 12-17 tahun juga sulit disuruh disiplin bermasker dan menjaga jarak, khususnya di permukiman padat. Penolakan vaksinasi, kata dia, harus diikuti dengan penerapan aturan yang sesuai agar tidak mengorbankan masyarakat secara umum.


Politikus PDI Perjuangan itu menyarankan, sanksi bisa berupa pelarangan anak mengikuti pelajaran atau kegiatan ekstrakurikuler, tidak diperkenankan ikut PTM, penghentian subsidi, dan larangan mengikuti ujian atau evaluasi.

“Akan sia-sia semua jerih payah dan pengorbanan tenaga dan nyawa mereka yang berjuang, juga korban yang meninggal bilamana vaksinasi kepada kelompok ini gagal mencapai 100 persen,” ujarnya.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan untuk Vaksinasi Covid-19, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah berkomitmen bahwa guru dan tenaga pendidik harus sudah mendapat vaksinasi sebagai upaya percepatan penyelenggaraan PTM. Kemudian, ditambah secara bertahap juga memberikan vaksin pada anak usia 12-17 tahun semasa PTM berjalan.

Nadia membenarkan bahwa pada kelompok anak dan remaja ini memiliki mobilitas dan kemungkinan berkerumun yang besar. Sehingga, Surat Edaran Kemenkes nomor HK.02.02/I/1727/2021 menjadi dasar pemberian vaksinasi pada anak.

Pelaksanaan vaksinasi anak dilaksanakan di fasilitas layanan kesehatan atau kerja sama dengan sekolah atau madrasah. Anak hanya perlu membawa kartu keluarga atau dokumen lain yang ada nomor induk kependudukannya. Jenis vaksin yang diberikan adalah Sinovac, dengan dosis 0,5 milimeter sebanyak 2 kali dengan interval 28 hari. “Sama seperti orang dewasa,” kata Nadia. 

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Jumeri, mengatakan bahwa pemberian vaksin pada anak 12-17 tahun bisa dilakukan seiring pelaksanaan PTM. 

Adapun penolakan terhadap vaksinasi anak, Jumeri mengaku belum diajak berdiskusi apakah harus ada sanksi atau tidak. “Kami belum diajak berdiskusi tentang vaksin ini,” ujar Jumeri kepada Tempo.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengatakan dalam peraturan perundangan, pemberian vaksin tidak boleh dipaksakan. 

Ia mengungkapkan, kekebalan kelompok terbentuk jika sudah 70-80 persen populasi telah divaksin. “Maka kita semua harus mendorong semua guru dan peserta didik bersedia divaksin, setidaknya ada 70 persen dari populasi,” kata Retno.

Menurut dia, selain vaksinasi, faktor utama untuk menyiapkan Pembelajaran Tatap Muka adalah 5 SIAP, yaitu siap daerahnya, sekolahnya, gurunya, orang tua, dan anaknya. Untuk daerah, sekolah harus ditutup jika ada klaster penularan Covid-19, menyiapkan anggaran untuk mendukung sekolah-sekolah yang muridnya sedikit untuk penyiapan sarana dan prasaran penunjang protokol kesehatan.

Untuk sekolah, Retno menyarankan agar harus ada kesiapan infrastruktur, SOP protokol kesehatan, dan perubahan perilaku orang dewasa di sekolah. Selanjutnya adalah kesiapan guru. “Guru harus belajar gimana pakai masker, tahan nerangin pakai masker, jangan dicopot, diturunin dan di dada. Anak peniru ulung,” kata dia.

Orang tua juga diminta menyiapkan keperluan anak selama pandemi. Sebab, rumah adalah tempat pertama anak belajar karakter. Anak harus diajarkan bagaimana menjaga diri dari Covid-19. “Semua harus belajar nyiapin dan siap jika masa pandemi cukup panjang di negeri. Masa sampai 2 tahun kita enggak ada jalan keluar anak-anak bisa tatap muka,” ucap Retno soal vaksinasi Covid-19 pada anak.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel